Ketika Ustadzah Meberikan Hukuman
Bocah laki-laki itu tertunduk lesu. Wajahnya muram, menahan sedih. Murid kelas 2 tersebut tak bisa menahan kekesalannya. Sesekali dia bergumam sendiri, menampakkan penyesalannya. Dia lantas berdiri, kemudian menuju ke ustazah (sebutan ibu guru di SD Islam Terpadu). Keringat dingin berpadu dengan keberanian. Ya, bocah delapan tahun itu berusaha memberanikan diri untuk bertanya. ”Kenapa saya dihukum, Ustazah?” Pertanyaan tersebut meluncur dari bibir bocah bertubuh gemuk itu. Ia memang sedang menjalani hukuman dari sang ustazah. Murid tersebut tidak diperbolehkan istirahat di luar kelas, seperti teman-temannya yang lain. Alhasil, dia hanya manyun di dalam kelas dan makan perbekalan yang dibawa dari rumah.
Sang ustazah tersenyum kecil. Tak tampak kegarangan seorang guru yang tengah menghukum siswanya. Diusapnya kepala sang siswa. Berusaha menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi dan makna di balik hukuman itu. Mereka terlibat perbincangan yang agak serius. Mata si murid sedikit berkaca-kaca. Sedih sekali. Pasalnya, dia begitu kepengin bermain sepak bola bersama teman-temannya di luar sana. Apalagi, jam istirahat masih cukup lama, sekitar 15 menit lagi baru masuk kelas. Sebuah buku kecil tergenggam erat di tangan sang ustazah. Di situ terdapat catatan mengenai kegiatan salat wajib lima waktu, mulai salat Subuh hingga salat Isya.
Ada kolom yang kosong di salah satu isian salat wajib tersebut. Sang ustazah menunjukkannya kepada muridnya. Ia kembali tertunduk lesu. ”Mengapa nggak salat, Nak?” tanya ustazah, masih dengan senyumnya yang menjuntai. Tak pernah lepas dari bibirnya. ”Ngantuk, Ust. Ketiduran,” jawab si murid polos.Ustazah lantas mengingatkan pentingnya menjaga salat fardu (wajib). Ia juga menawarkan solusi kepada siswanya tersebut untuk saling mengingatkan dengan teman-temannya soal salat. Misalnya, itu dilakukan lewat percakapan via telepon.
Maka, jamak terjadi di lingkungan sekolah tersebut, terutama di kalangan para siswa, kegiatan mengingatkan salat wajib. Biasanya, sang murid menelepon temannya ketika memasuki waktu salat Isya. Menanyakan sudah salat atau belum.
***
Kendati kasihan kepada siswanya, ustazah tetap menjatuhkan hukuman. Yakni, tidak membolehkan si murid untuk beristirahat di luar kelas sebagaimana dilakukan teman-temannya yang lain. Bisa saja kolom salat wajib itu diisi meski sebenarnya tidak salat alias memanipulasi. Namun, hal tersebut justru tak terjadi di kelas itu. Sang ustazah selalu mengingatkan bahwa kejujuran harus dijunjung tinggi dan ini sudah ditanamkan sejak dini, mulai murid kelas 1 di SD Islam Terpadu (SD IT) tersebut. Selain itu, ada kegiatan lain untuk menanamkan kekompakan. Salah satunya, siswa menjalankan salat Duha setiap pagi di masjid sekolah. Setiap duhur dan asar, mereka juga salat berjamaah dengan diimami oleh salah seorang siswa. Tak jarang, ada siswa yang tertidur ketika melakukan sujud atau duduk tahiyatul akhir ketika salat berjamaah di sekolah. Biasanya, sang ustazah langsung membenahi dan mengingatkannya.
***
Hhm...saat ini apa saja bisa dimanipulasi dan siapa saja bisa menjadi manipulator. Urusan tipu-menipu demi kepentingan pribadi atau golongan jamak terjadi. Mafia di mana-mana. Tak terkecuali di dunia pendidikan. Saya sadar dan yakin, tidak ada orang yang dididik untuk menjadi seorang ”Gayus.” Tak ada guru yang menanamkan sifat manipulatif. Namun, tentu saja hal seperti itu mungkin tak terelakkan. Kendati demikian, bukan berarti masalah tersebut tidak bisa dicegah.
Nah, inilah yang ditanamkan oleh sang ustazah kepada muridnya tersebut. Hukuman yang diberikan bukan bermaksud untuk mengeliminasi kebebasan. Justru di situ ditanamkan nilai sosial, kultur silaturahmi yang kini mulai luntur. Diharapkan, timbul kesadaran bahwa salat itu merupakan kebutuhan rohani yang juga penting. Dengan demikian, hal tersebut terus dijaga sampai si murid dewasa kelak. Sehingga sifat menghamba duniawi dengan menghalalkan segala cara dapat tercegah dan tergerus. Caranya melalui penanaman kejujuran. Sederhana, tapi tidak mudah. (Eko Prasetyo, ERA MUSLIM)